Di tengah hingar-bingar sepak bola modern yang penuh dengan bek flashy, selebrasi over, dan hype berlebihan, Aymeric Laporte muncul sebagai sosok yang lowkey lethal. Dia gak banyak gaya, jarang selebrasi heboh, tapi saat Manchester City dominan total di Inggris, Laporte itu fondasi pentingnya.
Dari Bilbao ke Etihad, dari pemain underrated ke juara Liga Champions, Laporte adalah contoh gimana elegansi, kesabaran, dan konsistensi bisa bikin lo relevan di klub super-kompetitif kayak City.

Awal Karier: Dibentuk di Prancis, Meledak di Spanyol
Aymeric Laporte lahir 27 Mei 1994 di Agen, Prancis. Tapi karier sepak bolanya justru berkembang di Spanyol. Di usia 16, dia gabung akademi Athletic Bilbao, satu-satunya klub yang cuma rekrut pemain berdarah Basque. Kebetulan, keluarga Laporte punya keturunan Basque dari garis leluhur.
Dia debut di tim utama saat usianya belum 19, dan langsung dipercaya jadi starter. Gak butuh waktu lama buat publik La Liga sadar: ini bek muda yang beda. Gaya mainnya tenang, positioning-nya bagus, dan punya akurasi umpan kayak gelandang.
Yang unik dari Laporte? Kaki kidal dan distribusi bola elite. Itu kombinasi langka buat bek tengah. Gak heran Pep Guardiola kepincut.
Transfer ke Manchester City: 65 Juta Euro Buat Bek “Tahan Panik”
Tahun 2018, Pep Guardiola butuh bek tengah yang bisa main dari belakang tanpa panik. City akhirnya tebus Laporte dari Bilbao dengan €65 juta, menjadikannya salah satu pembelian termahal klub saat itu.
Di musim pertamanya, Laporte langsung nyetel. Dia jadi duet utama bareng Vincent Kompany, terus lanjut ke John Stones. Dia gak perlu adaptasi lama. Bukan cuma defensif solid, tapi juga jadi bagian penting dari sistem build-up City yang rumit itu.
Musim 2018/19 jadi puncaknya: City sapu bersih 4 trofi domestik, dan Laporte main 50+ laga. Lo boleh sebut Aguero, Sterling, atau De Bruyne, tapi fans City tahu: tanpa Laporte, musim itu bisa berantakan.
Gaya Main: Bek Tengah Rapi, Kaki Kidal, Tanpa Panik
Laporte itu bukan bek yang ngandalin kekerasan atau tekel keras. Dia tipe bek yang lebih milih potong jalur bola daripada nabrak. IQ sepak bolanya tinggi, dan dia tau banget kapan harus step up, kapan harus mundur.
Yang jadi signature-nya: passing diagonal jarak jauh. Bola dari kaki kirinya sering banget langsung nyasar ke winger atau fullback sisi seberang. Efisien dan presisi.
Secara fisik dia juga kuat — tinggi, duel udara oke, tapi tetap elegan. Dia kayak gabungan antara calm-nya Thiago Silva dan build-up-nya Gerard Piqué.
Cedera, Persaingan, dan Turun ke Bangku Cadangan
Sayangnya, musim-musim berikutnya gak semulus awal kariernya di City. Laporte sempat alami cedera lutut cukup parah di musim 2019/20, bikin dia absen lama.
Pas dia balik, posisi utamanya udah mulai tergeser. Stones tampil luar biasa, Rúben Dias masuk dan langsung jadi tembok baru. Pep juga mulai sering pakai Nathan Aké dan Manuel Akanji — hasilnya, menit main Laporte makin terbatas.
Tapi dia gak pernah protes. Dia tetap tampil solid tiap dikasih kesempatan, tetap profesional. Dan di musim treble (2022/23), dia tetap bagian skuad juara Liga Champions — meski bukan starter utama, dia tetap bagian sejarah.
Timnas: Dari Prancis yang Gak Kasih Kesempatan, ke Spanyol yang Terima Sepenuh Hati
Ini cerita unik dari Laporte: dia lahir dan besar di Prancis, pernah main buat tim muda mereka, tapi gak pernah dipanggil ke timnas senior. Padahal kualitasnya udah jelas.
Akhirnya tahun 2021, dia resmi ganti federasi ke Spanyol (berkat statusnya di Bilbao), dan langsung jadi andalan timnas di Euro 2020 dan Piala Dunia 2022. Bareng Pau Torres atau Eric García, dia tampil sebagai bek utama La Roja.
Dan meskipun sempat diragukan, dia selalu tampil stabil. Distribusi bolanya bikin Spanyol bisa main dari belakang tanpa takut kena press.
Pindah ke Arab Saudi: Tantangan Baru, Uang, dan Pilihan Pribadi
Agustus 2023, Laporte resmi gabung ke Al Nassr (Liga Arab Saudi), satu tim bareng Cristiano Ronaldo dan Sadio Mané. Banyak yang bilang ini “turun level,” tapi Laporte sendiri bilang:
“Saya butuh tantangan baru. Saya ingin main rutin dan tetap kompetitif.”
Dan ya, secara finansial? Dia dapet kontrak besar. Secara karier? Dia tetap relevan di timnas Spanyol. Jadi meskipun dia gak lagi main di liga top, kualitas dan pengalamannya gak luntur.
Kesimpulan
Aymeric Laporte adalah definisi bek modern yang gak suka ribut tapi performanya selalu bicara. Di Manchester City, dia bantu revolusi sistem Guardiola dari belakang. Di Spanyol, dia jadi solusi lini belakang pas era baru dimulai.
Dia bukan pemain yang viral, tapi tanpa dia, banyak musim penting City gak bakal sekuat itu. Dan meskipun sekarang dia di Arab Saudi, legacy-nya tetap solid — bek kiri alami, tenang, rapi, dan punya visi lapangan dari belakang.